Kasih Sayang Abah

Pesantren adalah tempat pendidikan berumur ratusan tahun. Sementara pakar menyebut, Pesantren sudah muncul sejak zaman Walisongo. Sejarah menyebut -seperti terdedah di buku atlas Walisongo- Pesantren sudah ditemukan pada masa Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik (wafat 8 April 1419). Agus Sunyoto, penulis atlas Walisongo menyebut, Sunan Gresik membuka Pesantren di desa Gapura, Gresik, Jawa Timur. Dari Pesantren ini, Sunan Gresik mendidik kader-kader pemimpin umat dan penyebar Islam yang diharapkan dapat melanjutkan misinya, menyampaikan kebenaran Islam.

Pesantren adalah tempat belajar memahami agama Islam khas Indonesia. Jika pun lafal ma’had dalam bahasa Arab kerap diartikan Pesantren. Rasanya, model pendidikan persis Pesantren, tak mudah dijumpai di tempat lain kecuali di nusantara. Pesantren terbentuk dari beberapa unsur, seperti adanya kiai, santri, asrama, kurikulum, juga kitab kuning

Kiai adalah pimpinan, biasanya juga muassis atau pendiri Pesantren. Di Pesantren, Kiai adalah guru, teladan, juga orang tua bagi santri. Hubungan Kiai dan santri, melampaui hubungan guru dan murid di ranah formal. Kiai tak berhenti pada tugas mengajar laiknya guru, diatas itu, Kiai adalah orang tua bagi santrinya. Ini bisa dilihat, dari kebanyakan sapaan santri pada Kiainya, seperti Abah, Bapak, Romo. Atau Umi dan Ibu untuk istri Kiai. Secara terang, sapaan semacam ini menyiratkan kedekatan hubungan.

Dari dekatnya hubungan ini, terpilin kerinduan antara Kiai dan santri. Kiai akan merindukan kala santri sedang tak berada disisinya. Demikian pula sebaliknya. Pada edisi Elwaha ‘Almaghfurlah Abah, selalu ajarkan keteladanan’, tergambar kondisi ini.

Abah Kiai, sebagaimana dituturkan Hj. Muzdalifah, terlihat kerap menitikkan air mata kala libur Pesantren tiba. Saat ditanyakan, kenapa beliau menitikkan air mata. Abah memberi jawaban sederhana tapi dalam maknanya. Abah kangen dengan santri-santrinya.

Pada lain kesempatan. Saat Abah tengah melakukan perjalanan, kemudian tahu jika di tempat itu terdapat santri, Abah akan menyediakan waktu untuk menemui santrinya. Penulis dan rekan Ma’had Aly angkatan 2008 mengalami benar kejadian ini. Ketika itu, medio 2007, Ma’had Aly sedang melakukan kuliah pengabdian masyarakat (KPM) di Banyumas. Tepatnya di desa Pejogol kecamatan Cilongok.

Baru beberapa hari KPM berjalan, kami terkejut oleh rawuhnya, Almaghfurlah Abah Kiai. Tanpa dijadwalkan sebelumnya, Abah menjenguk santrinya. Abah yang tengah menempuh perjalanan, memilih rehat sejenak ketika melewati Banyumas. Abah menyediakan waktu untuk mendatangi santrinya. Kejadian serupa ini, juga diakui oleh banyak tholabah Al Hikmah yang sudah tak muqim di Pesantren.

Menyempatkan diri untuk bertemu, merupakan satu diantara wujud perhatian Abah pada santri. Ketika seorang tholabah sowan pada beliau di rumahnya. Abah dengan hati senang menemuinya.

Pada tholabah yang sudah tak berada di Pondok, Abah kerap mengajukan satu pertanyaan, ‘mengajar dimana ‘. Abah memotivasi tiap santrinya, untuk menyampaikan ilmu, seberapa banyak sedikitnya ilmu yang didapatkan di Pondok. Sampaikan meski satu ayat.


Diatas itu, kasih sayang Abah tercermin pada keukuehnya beliau pada pendirian, setiap santri Al Hikmah wajib hafal, atau setidaknya membaca surat Al Mulk saban hari. Sebab, surat dengan tiga puluh ayat ini, sebagaimana diterangkan Baginda Rasul, dapat memberi menolong pembacanya hingga dosanya diampuni. Subhanallah. Guruku orang-orang Pesantren. Semoga saya yang bukan siapa-siapa ini, diakui beliau sebagai santrinya. Amin

Comments